POSTING TERBARU

Membuang ’Sampah Pikiran’

Ada kisah menarik dari Anas bin Malik. Suatu ketika ia berjalan dengan Rasulullah SAW. Ketika itu, datanglah seorang Arab badui dari arah belakang. Dengan serta-merta ia menarik jubah najraani yang dikenakan Rasulullah SAW.

 Anas barkata, "Aku memandang leher Rasulullah dan melihat bahwa jubah itu telah meninggalkan bekas merah di sana karena kerasnya tarikan. Orang badui itu kemudian berkata, 'Wahai Muhammad, beri aku sebagian dari kekayaan Allah yang ada di tanganmu'. Rasul kemudian menolah kepadanya, dan tarsenyum, lalu memerintahkan agar orang itu diberi uang,"

 Kisah ini menggambarkan betapa mulianya akhlak Rasulullah SAW. Beliau tidak pernah membalas keburukan orang dengan keburukan lagi. Saat dihina, beliau tidak marah atau sakit hati. Beliau justru mendoakan kebaikan. Mengapa Rasulullah SAW mampu tenang dan bijak menghadapi gangguan orang lain? Jawabnya, Rasulullah SAW memiliki kelapangan dada dan kejernihan pikiran.

 Ternyata, yang membuat hidup kita tidak bahagia adalah diri kita. Penyikapan yang buruk terhadap suatu kejadian adalah sumber penderitaan. Mirip orang yang sariawan makan keripik pedas. la menangis, marah, dan uring-uringan. Yang membuat ia menderita bukan keripiknya, melainkan lidahnya yang berpenyakit. Bagi orang yang tidak sariawan, keripik tersebut nikmat dan renyah.

 Saudaraku ada banyak hal yang membuat hidup kita tidak nyaman. Salah satunya adalah kegemaran menyimpan ’memori-memori’ buruk. Otak bisa diibaratkan wadah penyimpanan yang akan kotor ketika kita mengisinya dengan sampah.

 Pengalaman-pengalaman buruk, separti penghinaan, perlakukan buruk, cemoohan, ketersinggungan, kegagalan, dan lainnya; adalah "sampah" yang barpotensi mengotori pikiran. Semakin sering kita menyimpan memori buruk di otak, semakin negatif sikap dan perilaku kita.

 Karena itu, satu syarat agar hidup kita bahagia adalah membersihkan kepala dari "sampah-sampah" busuk. Bagaimana caranya? Pertama, selalu berusaha mengingat kebaikan orang dan melupakan keburukannya. Saat orang lain menyakiti kita, carilah seribu satu alasan agar kita tidak benci. Ingatlah selalu kebaikannya. Jangan sampai kita mengabaikan seribu kebaikan orang, hanya karena satu keburukan yang boleh jadi tidak sengaja ia lakukan.

 Kedua, segera lupakan semua perlakuan buruk orang lain. lbaratnya, kalau tinta mengotori muka, maka tindakan yang bijak adalah segera membersihkannya, bukan membiarkannya, atau menunjukkannya pada yang lain. Demikian pula saat orang berlaku buruk pada kita, menghina misalnya, alangkah bijak bila kita segera menghapusnya, bukan memendamnya, membesar-besarkannya, atau menunjukkannya pada banyak orang.

 Ketiga, mohonlah kepada Allah SWT agar diberi hati yang lapang dan pikiran yang jernih. Ada doa dalam Alquran yang bisa kita panjatkan,

 "Ya Tuhanku, lapangkanlah dadaku, dan mudahkanlah urusanku; dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku; agar mereka mengerti perkataanku."


Robbisyrohliy shodriy wayassirliy amriy ....(OS Thaahaa [20]: 25-28).

Merawat "Rumah Jiwa"

Rumah kita masih yang itu-itu juga. Tapi, sekembali dari mudik dan silaturahmi kita menemukan ada yang beda. Ditinggal sebentar saja, rumah kita telah berubah. Bukan bentuk dan struktur bangunannya. Bukan. Perubahan itu mungkin teramat kecil; tapi hampir setiap kita sepulang dari bepergian dan rumah tiada berpenghuni seorang pun, kita akan merasakannya. Rumah kita menjadi terasa berebu.

 Baru saja kaki memasuki teras, debu itu telah terasa menempel tebal. Risih dan tidak nyaman. Begitulah tabiat rumah yang jarang disambangi dan tiada berpenghuni, debu-debu akan tertimbun dan mengotori. Anehnya, rumah juga akan gampang rusak. Padahal, ketika kita tempati, seingat kita tak juga dirawat ekstra ketat. Tapi begitulah kenyataannya.

 Di samping rumah saya yang sederhana, ada rumah yang lama ditinggalkan penghuninya. Terkunci. Dari celah pagarnya yang rapat saya bisa tahu bahwa belukar rimbun menumbuhi. Kata beberapa jamaah masjid, "Bagian belakangnya telah ambrol, Mas." Ya, rumah itu jadi terlihat kotor dan rusak.

 Begitulah tabiat rumah. Jika bangunan fisik saja butuh disambangi, butuh dibersihkan, dirawat, bahkan dimanfaatkan untuk aktivitas, bagaimana halnya dengan "rumah jiwa" kita? Tentu ia butuh lebih banyak lagi perawatan. Sayangnya, rumah jiwa kita debu-debunya tidak mudah diraba; mungkin karena wujudnya saja yang beda. Debu-debu itu bisa berupa kegelisahan, 'kemrungsung' menghadapi hidup, mudah sakit hati, gampang mendendam, hampa, dan sebagainya.

 Rumah yang dibersihkan tiap hari, perabotan dan barang-barangnya dirapikan setiap saat, akan terasa bersih dan lapang. Demikian pula dengan rumah jiwa kita. Jika kita rajin mengunjungi, membersihkan, merawat, dan menatanya, ia akan jernih, tajam, dan cemerlang. Rumah jiwa itu akan berkilauan. Dengan apa kita melakukannya? Kita merawat rumah jiwa kita dengan ketaatan kepada-Nya; ibadah, dzikir, istighfar, menolong sesama dan sebagainya.

 Semakin lama rumah ditinggalkan, semakin banyak pula yang harus dibersihkan. Demikian pula halnya ketika kita lama tidak menyambangi rumah jiwa kita, lama tidak berketaatan kepada-Nya, lama bermaksiat kepada-Nya, tak perlu khawatir. Hanya diperlukan kerja ekstra untuk benar-benar membersihkannya; jalan itu telah ada, yaitu taubat. Banyak istighfar dan memperbaiki diri.


 Demikian bincang kita tentang rumah dan debu, semoga bermanfaat. Kini, mari kita jaga dan rawat 'rumah' kita.