Ini Cara Asyik Belajar Sejarah Kota Bandung

Sekelompok anak muda berkumpul di Jalan Sumur Bandung Nomor 4 pada Selasa, 30 April malam. Kelompok yang terdiri dari mahasiswa berbagai kampus di Bandung terihat asyik berbicara mengenai sejarah Kota Bandung.

Ya, mereka adalah para pegiat Komunitas Aleut. Komunitas ini siap memberikan pelajaran sejarah kepada siapapun dengan metode unik yang menyenangkan.

Pada malam tersebut, mereka berdiskusi sejarah dan lain-lain di ruangan yang penuh dengan buku-buku yang berderet rapi, banyak buku-buku sejarah yang langka.

Saban hari Minggu mulai pukul 08.00 WIB, Komunitas Aleut memandu siapapun yang mau belajar sejarah Kota Kembang ini. Biasanya mereka berkumpul dari satu titik selanjutnya berjalan menuju titik sejarah tertentu yang ada di Kota Bandung, misalnya Gedung Sate dan gedung-gedung cagar budaya (heritage) yang banyak berdiri di Bandung, makam tua, taman-taman kota, Jalan Braga, Alun-alun dan lain-lain.

Tiba di lokasi tujuan, salah satu koordinator dari Komunitas Aleut akan menceritakan sejarah atau berbagai peristiwa yang melatarbelakangi tempat yang dituju. Dengan begitu, peminat akan melihat lokasi langsung sekaligus mendapatkan cerita sejarah.

Minggu lalu, komunitas ini menelusuri rumah Inggit Garnasih di Jalan Cibadak Bandung. Inggit adalah istri paling berjasa bagi Presiden Pertama RI, Soekarno.

Pengasuh Komunitas Aleut, Ridwan Hutagalung, menuturkan, sudah lima tahun komunitas ini menggelar acara jalan-jalan ke tempat-tempat sejarah. Pada awal berdiri, komunitas ini terinspirasi buku sejarah “Wajah Bandoeng tempo doeloe” dan buku “Semerbak Bunga di Bandung Raya” karya Haryoto Kunto.

Kedua buku ini banyak bercerita tentang Bandung, dengan teknik penceritaan yang ringan tetapi menarik. Setelah membaca dua buku tersebut, mulailah tempat-tempat yang disinggung di buku ditelusuri tiap hari minggu, kadang hanya oleh dua orang atau lebih.

“Ceritanya kita belajar sejarah di lapangan. Cari cerita dari tiap bangunan,” tutur Ridwan.

Berikutnya, peserta terus bertambah menjadi 20 sampai 70 orang setiap kali jalan-jalan. Peminatnya adalah mahasiswa, ibu rumah tangga, mahasiswa pascasarjana.

Rata-rata para aktivis ini tidak memiliki latar belakang sejarah tetapi sangat menyukai sejarah. Sejak itulah dibuatlah sistem keanggotaan Komunitas Aleut yang saat ini tercatat sudah mencapai 500 hingga 700 anggota, sedangkan yang aktif sekira 100 orang.

Untuk menjadi keanggotaan Komunitas Aleut, anggota dikenakan biaya Rp10 ribu dan sudah bisa jalan-jalan bareng selama setahun. Biaya ini untuk administrasi keanggotaan, selanjutnya tidak dikenai biaya lagi.

“Kami menghindari aspek komersial. Kami komunitas yang ingin membuat publik tertarik terhadap sejarah secara alamiah,” ujarnya.

Makin bertambahnya jumlah anggota Aleut, tema yang digarap pun mulai serius, meski dengan pembawaan yang tetap santai dan ringan. Begitu juga isu yang diolah menjaddi melebar, bukan hanya sejarah saja.

Komunitas Aleut pun mulai aktif menggelar acara apresiasi film, musik, lingkungan, menulis, dan seterusnya. “Akhirnya kita jadi komunitas belajar meski sejarah tetap jadi perhatian utama,” jelas Ridwan.

Komunitas ini juga menyediakan karya tulis bagi para aktivis di aleutwordpres.com yang kini sudah menampung 500 tulisan berbagai tema sejarah Kota Bandung. Dalam Blog itu disebutkan, Komunitas Aleut merupakan komunitas nirlaba beranggotakan anak-anak muda yang ingin Mencintai Kota Tempat Tinggalnya secara lebih menyenangkan lewat apresiasi Sejarah dan wisata.

Aleut (dalam bahasa Sunda berarti berjalan beriringan). Sejak berdiri 2006, Aleut, berusaha membumikan sejarah ke dalam bahasa dan kehidupan sehari-hari. Selain itu, Aleut juga pernah membuat buku tentang jalan yang penuh dengan bangunan kuno di Bandung, yakni kawasan Braga.

Meski belajar sejarah di lapangan, referensi utama komunitas ini tetap dari buku yang ditulis oleh penulis yang kredibel dan kompeten. Banyak tema sejarah Bandung yang selama ini cenderung diyakini kebenarannya padahal faktanya tidak demikian.

Misalnya tentang cerita di balik 10 stilasi Bandung Lautan Api yang dibuat Bandung Heritage. Sebanyak 10 stilasi BLA yang dibuat 1996 ini tersebar di berbagai titik di Bandung.

Namun Komunitas Aleut justru memiliki titik lain yang nilai sejarahnya sangat besar, yakni ledakan pertama BLA di gedung yang kini menjaddi BRI Tower Jalan Asia-Afrika, Bandung. Tetapi di titik ini tidak ada stilasi BLA.

Jumlah heritage di Bandung juga sebenarnya ada ribuan. Namun hanya 637 bangunan cagar budaya yang tercatat di Bandung Heritage, dua tahun lalu tinggal 200 heritage, dan setahun terakhir tinggal 100 heritage.

Kemusnahan heritage di Bandung tidak lepas dari digalakannya sektor industri dan pariwisata. Fokus Komunitas Aleut memang tidak berusaha mencegah punahnya heritage di Kota Bandung. Komunitas ini lebih pada penyebaran infromasi sejarah, sambil melakukan dokumentasi.


Fakta lainnya, pada 1810 Bandung adalah hutan belantara yang dibuka oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Pusat kota kembang ini dulunya adalah Dayeuhkolot yang sekarang menjadi bagian dari Kabupaten Bandung yang sering terendam banjir.

Tujuan Belanda membangun Kota Bandung adalah untuk membentuk daerah koloni-koloni. Maka waktu itu Belanda gencar mengundang orang-orang Eropa untuk datang ke Bandung.

Bandung dibangun senyaman mungkin, supaya orang-orang Eropa betah di kota ini. Maka didirikanlah kampus teknik pertama di Indonesia yang kini Institut Teknologi Bandung, untuk menopang pembangunan Bandung. Akhirnya banyak orang Eropa, khususnya Belanda, datang ke Bandung.

“Awalnya yang datang ke Bandung adalah orang-orang Eropa putus asa,” cerita Ridwan.

Salah seorang Eropa yang datang ke Bandung dalam keadaan putus asa adalah Franz Wilhelm Junghuhn (meninggal di Lembang 1864). Junghun adalah terpidana di negerinya, Jerman.

Dia seorang naturalis, doktor, botanikus, geolog dan pengarang. Junghuhn berjasa sebagai peneliti pulau Jawa dan Sumatera dari sudut pandang geologi.

Belanda juga membangun banyak taman dan daerah wisata seperti Taman Maluku, Taman Lalulintas, Kebun Binatang, Bosccha. Perlakuan istimewa Belanda terhadap Bandung juga karena dekat dengan Batavia. Bahkan, Belanda akan memindahkan ibu kota Hindia Belanda ke Bandung.

“Sebelumnya, Belanda berusaha membikin kota koloni di Batavia (Jakarta), lalu pindah ke Bogor, tapi tak nyaman, lalu bikinlah di Bandung,” terangnya.


*** Sumber : http://okezone.com

0 comments :

Post a Comment